Article



Hidup di kota Jakarta  penuh perjuangan.  Mulai  dari pagi hari yang cerah, harus berjuang menembus kemacetan. Bertemu dengan berbagai kendaraan, baik itu motor, mobil, maupun kendaraan umum seperti bajay, angkot, bus .   Ketika semuanya ingin cepat  sampai di tujuan maka mereka  merambah ke jalur yang tidak seharusnya. Maka kemacetan pun akan terjadi menjadi parah.
Sebagai seorang pegawai, saya memang tiap hari dan sore hari harus berjuang untuk melalui hari-hari dengan kemacetan.  Berangkat dan pulang menjadi momok bagi saya.  Saya tak sanggup lagi mengendari mobil sendiri karena saya telah dua kali masuk ke rumah sakit .  Penyakit saya aneh, gejala pencernaan yang tak kunjung sembuh.   Telah mengunjungi berbagai dokter ahli yang menyatakan bahwa pencernaan normal saja hanya syndrome akut .  Lalu, mengapa hal ini berulang kali terjadi?  Saya berusaha menganlisa diri sendir.   Stres berat ketika menghadapi kemacetan.  Akhirnya, keputusan saya untuk berangkat dan pulang kerja dengan  “pool car”.    “Pool car” artinya mobil  jemputan bersama-sama dengan teman-teman lain.   Tentunya hal ini  ada plus minusnya.  Plusnya , saya tak cape dan tak stres memikirkan kemacetan. Saya tinggal duduk diam, manis dan sesamapainya di tujuan, badan saya masih bugar , tidak terasa kecapean sama sekali.   Minusnya adalah saya harus disiplin dengan waktu.   Jam berangkat telah ditentukan dari rumah saya 6.10 pagi dan jam pulang harus  17.30 di kantor.   Tak ada toleransi.  Jika kita terlambat, akan mengakibatkan orang lain kena imbasnya. Efek domino.     Pool car ini saya bersama teman-teman yang tidak hanya se kantor, tetapi ada 3 orang dari kantor lain.
Hari itu memang khusus bagi saya.  Saya tak pernah melupakan dalam seumur hidup saya. Hari Jumat, pada bulan Januari 2002.  Berangkat kerja pagi hari tanpa ada masalah apa pun.  Namun, sore hari menjelang pukul 15.00, langit yang dulunya biru dan cerah membelah matahari, tiba-tiba berubah mendung, gelap gulita  dan terdengar suara  petir yang menggelegar.   Hujan keras tercurah dari langit.  Hujan lebat itu tidak berhenti selama 3 jam.  Kegelisahan melanda diriku,  wah ini pasti banjir.     Betul juga, ketika seorang teman mendengarkan  radio,  ternyata  Jakarta telah dikepung dengan banjir.   Banjir yang sering dikenal dengan banjir 4-5 tahunan, telah mengepung seluruh pelosok Jakarta.    Langsung saya tak berpikir:  “Wah bagaimana nanti pulangnya dengan mobil jemputan?”.   Dapatkah menembus banjir, atau lebih baik menginap di kantor?”  Dengan inisiatif, saya membeli  beberapa makanan roti sebagai bekal pulang.   
Jam telah menunjukkan pukul 17.45,  mobil jemputan belum juga kunjung datang.   Menunggu, menunggu dengan was-was,  saya pun menelpon supir, dikatakan terjebak macet di suatu tempat.  Hampir pukul 18.30, barulah mobil sampai di kantor saya.   Begitu mobil jemputan akan ke luar dari  pelataran kantor, kami sudah terjebak macet yang luar biasa.  Lalu, supir pun mendengarkan radio untuk mengetahui  kondisi jalan yang tidak macet.   Pilihannya tidak ada. Hampir semua jalan tidak ada yang macet.
Kami yang ada di dalam mobil hanya pasrah.  Tak dapat memberikan saran atau rekomendasi apapun . Yang dapat kami himbau kepada supir agari tidak masuk ke jalan tikus yang biasanya kami lewati .  Jalan tikus adalah jalan yang sempit dan kecil, untuk memotong jalan.  Namun, jika  banjir, kondisinya akan lebih parah dari kondisi jalan raya. 

Di suatu jalan, mobil tak bergerak hampir 1 l/2 jam.  Bekal dikeluarkan untuk mengganjal  




Share
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...