Berlibur lebaran banyak anak-anak
sekolah yang memanfaatkan dengan ke luar
kota, bersilahturami dengan keluarga , mengunjungi obyek wisata atau bermain dengan
keluarga/teman ke berbagai tempat wisata .
Banyak yang mempunyai pengalaman yang seru dalam menghabiskan liburan.
Liburan memang dianjurkan agar
kita dapat melepaskan lelah dan stress.
Dalam liburan kita dapat mengejar waktu tidur kita yang tertinggal
ketika kita harus belajar penuh.
Rutinitas membuat anak-anak merasa jemu dan otak perlu istirahat. Tubuh kita diharapkan menjadi segar kembali
dan tentu saja kita harus menjaga kesehatan selama liburan. Tidur nyenyak dapat membantu mengisi ulang otak sehingga dapat berfungsi
efektif sepanjang hari. Juga kekebalan
tubuh kita dapat memerangi infeksi.
Nach, ketika liburan telah
usai, Adi dan Nita pun harus menyiapkan diri untuk besok ke
sekolah. Mulai dari alat sekolah,
seragam sekolah, kuku-kuku tangan dan
kaki harus rapi. Setiap hari Senin ada upacara bendera. Sebelumnya akan ada
pemeriksaan kuku tangan dan kaki, dan isi dari tas. Ketika ibu guru piket sedang memeriksa
barisan anak yang akan masuk ke sekolah, dijumpai Riko. Baju Riko sangat lusuh, tak mengenakan kaos
kaki maupun dasi kecil seragam sekolah.
“Riko, mengapa bajumu tak disetrika dan
mengenakan kaos kaki dan dasi?”.
“Ayah saya sakit Ibu Guru”, katanya tersendat-sendat. Namun, Ibu Guru Piket tak boleh menanggapi
alasan itu. Ibu Guru tetap menjalankan tugasnya. “Ayo, kamu ke luar dari barisan dulu. Rapikan bajumu dan pakai kaos kaki dan dasimu!”,
kata ibu guru.
Bunyi bel tanda upacara hari Senin akan dimulai. Segera anak-anak berlari untuk berbaris. Menit demi menit upacara diadakan dengan tertib dan hikmat. Kepala Sekolah bertindak sebagai instruktur upacara.
Kebetulan hari Senin ini masih dalam rangka memperingat hari Kemerdekaan
RI ke 68. Barisan harus rapi dan tertib.
Langkah demi langkah murid mengikuti
rangkaian upacara hingga selesai .
Selesai upacara, semua anak
harus berbaris untuk kembali ke kelas masing-masing.
Ketika Adi, masuk kelas, dia sempat
melirik kepada Riko. Baju Riko masih
kelihatan tak rapi. Dia menundukkan kepala saja . Dari wajahnya tampak muram, sedih dan tak ada tanda
keceriaan. Adi menyapa Riko dengan
menepuk punggungnya. “Riko, ada apa
gerangan, kok kamu tadi pagi tak sempat pakai kaos kaki dan bajumu lusuh?”,
tanyanya. “Wah, panjang ceritanya”,
kata Riko.
“Apakah aku bisa membantu?”,
kata Adi. Riko agak terperanjat
kaget. “Benarkah?”. “Nanti
pada saat istirahat aku akan bercerita kepadamu”, kata Riko
Bel kedua tanda pelajaran berhenti untuk istirahat
berbunyi. Semua anak berlarian ,ada
yang ke kantin, ada yang mengeluarkan bekalnya. Di pojok
dekat ruang kantin, Adi juga membuka bekal. Dia membagikan bekal kepada Riko. “Adi, aku harus meninggalkan sekolah ini
dalam waktu dekat”, kata Riko. Bukan
main kagetnya Adi. “Mengapa?”,
katanya. “Ayah dan ibuku harus kembali
ke kabupaten Aru”, katanya dengan lemah.
Aku sebenarnya tak ingin ikut mereka kembali ke kampung. Ayahku telah kehilangan pekerjaan. Dia dipecat
di tempat kerjanya karena sakitnya yang tak kunjung sembuh. Ayah dan ibu ingin mengajakku pulang ke kampung bersama mereka.
Aku tak ingin ikut bersama mereka.
Tapi apa dayaku. Aku tak bisa
tinggal di Jakarta karena tak punya keluarga.
Keberatanku ikut mereka adalah beratnya berangkat ke sekolah dari
kampung ke sekolah. Jarak kampung ke
sekolah 13 km, 10 km kami di laut, 3 km kami
jalan kaki di hutan. Di laut kami harus
mendayung sampan, menghadapi gelombang
tinggi, hujan , ganasnya hujan badai.
Setelah menyandarkan sampan, kami harus melanjutkan jalan kaki membelah
hutan, menghadapi sapaan binatang buas. “Alangkahnya sulitnya untuk menjangkau ke sekolah! “ kata Adi. Tak terbayangkan oleh Adi, bagaimana jika
dia harus bersekolah dengan cara seperti itu.
“Riko, aku mengerti sulitnya keadaan dirimu, di satu sisi kamu
ingin sekolah di Jakarta karena disini mudah berangkat ke sekolah, tinggal naik angkot atau
bus . Belum lagi engkau termasuk anak yang pandai di sekolah ini”, kata Adi. “Adi, aku tak mau ketinggalan pelajaran,
di sana semuanya lebih lambat dari Jakarta. Tingkat pelajaran matematika,
bahasa Inggris untuk kelas III SD, sama
dengan tingkat kelas I SD. Guru-guru
nya kurang berkualitas. Tak ada ruang komputer, tak ada perpustakaan. Belajar di Kab. Aru hanya ada tempat atau
kelas yang sederhana. Setelah kecapean mengarungi laut dan hutan 13 km,
kami sudah tak konsentrasi belajar.
Adi sangat prihatin membayangkan bagaimana kondisi
sekolah di Kab Aru. Anak-anak sekolah
harus berjuang untuk mencapai ke sekolah.
Belum lagi fasilitas dan guru yang tak memadai. Di Jakarta, semua fasilitas dengan mudah
dapat terjangkau. Namun, masih banyak
anak-anak yang tak rajin ke sekolah.
Apalagi banyak anak tak suka dengan pelajaran matematika atau bahasa
Inggris. Padahal kedua pelajaran itu
sangat penting.
Sepulangnya dari sekolah,
Adi berdiam diri . Bayangan kehilangan sahabatnya Riko. Bayangan bagaimana Riko berjuang untuk
berangkat ke sekolah. Hampir saja Adi
lupa makan malam jika ibunya tak memanggil berkali-kali. Kemuraman wajah Adi dilihat oleh ibunya. Ibunya bertanya : “Nak, mengapa wajahmu muram?” Lalu diceritakan kepada ibunya apa yang
terjadi dengan Riko. Ibu ikut
terdiam. Memikirkan apakah ada
kesempatan bagi Riko untuk tetap bersekolah di Jakarta. Namun, ibu Adi juga bingung, siapa yang
akan membiayai hidup Riko di Jakarta. Ach, sebaiknya ada orangtua atau siapapun yang dapat
membantu Riko.
Ibu Sinta yang adalah ibu
Adi, datang ke Yayasan sekolah Adi dan
Riko. Bertemu dan bercakap apa yang
menjadi masalah Riko. Hasilnya memang
sangat tidak memberikan harapan bagi Riko untuk dapat dibantu dalam biaya
sekolah atau tinggal. Tetapi pihak Yayasan, memberikan izin Riko dapat tinggal di kantor Yayasan. Hanya
untuk keperluan hidup dan sekolah, Riko harus berusaha untuk mendapatkan uang
sendiri.
Begitu Ibu Sinta pulang, Adi
segera menghambur menanyakan apa ada kabar baik buat Riko. Kabar baiknya disampaikan terlebih dulu,
kabar buruknya pun disampaikan juga.
“Riko harus cari uang sendiri?” tanya Adi. “Betul Adi, apakah Riko sanggup untuk
membiayai dirinya sendiri?”. Adi
terus berpikir keras. “O...aku ada
ide, dia khan pinter dalam bahasa inggris dan matematika”, katanya dengan suara
yang hampir tak terdengar.
Adi mendatangi rumah Riko.
Disampaikannya apa yang telah didengar dari ibunya. “Riko, kamu dapat tinggal di kantor Yayasan
sekolah, tapi kamu harus mencari uang sendiri untuk hidupmu dan uang sekolah”,
kata Adi. Tapi aku punya usulan ,
katanya lebih lanjut. “Kamu pinter dalam bidang matematika dan inggris. Bagaimana jika kamu memberikan pelajaran
tambahan kepada teman-teman, atau adik
kelas yang membutuhkannya. Kamu juga
memberikan mempromosikan tempat kursus matematika dengan
kepandaianmu”.
Riko sangat senang masih dapat
bersekolah di Jakarta. Sambil
bersekolah, dia harus bekerja memberikan
kursus kepada adik-adik kelasnya tentang pelajaran matematika dan bahasa
Inggris. Hidup buat Riko adalah
perjuangan. Perjuangan yang harus dilakukannya untuk suksesnya sebuah impian.
Inilah potret seorang anak
seperti Riko, mengalami kesulitan, tapi tak menyerah. Kesulitan untuk mendapat pendidikan yang
layak harus dihadapinya. Tak ada
uang. Tapi talenta kepandaian dalam matematika dan bahasa
Inggris menjadikan hidupnya berharga.
Hidup seorang Riko, adalah hidup yang patut dicontoh oleh semua anak
yang ingin sukses dalam hidupnya. Tak
ada hidup yang enak tanpa perjuangan.
Gali semua potensi dan perjuangkan hidup semaximal mungkin.
Tulisan ini dibuat dalam rangka ikut berpartisipasi dalam "Cerita pendek untuk anak-anakEye Literature Award"