"Pulang", Dalam Kedamaian

Napak tilas suatu pengembaraan.  Pengembaraan hidupku menapak ke sebuah kota Metropolitan bukan mudah. Rasa nyaman, betah dan diterima,  di kota kelahiranku.  Aku sebenarnya tak ingin jauh dari ibuku, apalagi meninggalkan kota kelahiranku, Semarang.  Namun, demi sebuah tuntutan untuk pendidikan yang lebih tinggi, aku meninggalkan kota kelahiranku.

Jakarta, bukan tempat hidup yang kuinginkan. Jejak pertama menginjakkan Jakarta. Aku merasakan panasnya, macetnya, individualistis, serta kadang-kadang tak manusiawi hubungan antar sesama.  Tak pernah merasa "home", rindu kepada kota kelahiran penuh dengan memori masa kecil dan masa remaja yang indah.

Tatapan akan masa depan meneguhkan aku harus tetap menapak dan tinggal di Jakarta.  Bekerja selama bertahun-tahun. Bertemu dengan jodoh, menempatkan aku di kota yang sebenarnya tak kuinginkan. Tapi tak bisa mengelak lagi di tempat baru ini aku menapak jejak baru dan menggariskan semua coretan hidupku. Tak terasa pensiun pun harus kujalani di kota yang penuh dengan kekerasan ekonomi, sosial.

Namun, beberapa tahun yang lalu, aku mengembara di ktoa yang berbeda.  Setelah Ibuku mendapat kecelakaan. Beliau terpaksa hidup invalid selama 17 tahun.  Perjalanan travel Jakarta-Semarang kulakoni selama 15 tahun,  Jakarta-Semarang menjadi bagian hidup, tiap 2 bulan sekali  rutin kulakukan.  Urusan perawatan ibu menjadi bagian hidupku.  Begitu rumah itu sudah tak layak huni, ibuku minta kembali "pulang" ke kota kelahirannya, Muntilan.  Hanya terpikir, bahwa inilah satu-satunya keinginan seorang ibu menjelang  akhir perjalanan hidupnya. Pulang ke rumah tempat dia lahirkan.  Kembali pengembaraan  travel berbeda kulakoni, Jakarta-Jogja-Muntilan. Akhirnya, setelah pengalaman hidup yang nyaris sangat menggetarkan, erupsi Gunung Merapi.  Tanpa listrik, tanpa makanan, tanpa minuman, penuh debu, tapi tetap dalam lindunganNya.

Pengembaraan hidup dua orang yang saling mengasihi , ibu dan anak untuk bertarung dan tetap hidup dalam kekerasan alam yang menerjang tempat tinggal ibuku. Pemaknaan atas lindunganNya, membuat aku dan ibuku tetap berjuang.

Pengembaraan itu berhenti, ketika ibu akhirnya dengan tenang dan damai menyatakan "selesai sudah, aku akan pulang dalam damai".  Pulang di tempat yang paling abadi di tempat yang paling diinginkannya.

Pulang dalam keabadian dan kedamaian, selamat jalan Ibu.  Pengembaraanmu telah selesai, pengembaraanku masih terus harus berlangsung. Musafir memang belum berhenti karena aku belum boleh pulang, tugas lain menantiku.

Tulisan ini diikut-sertakan dalam Nubie Traveller Montly Blog Competition "Pulang"


Share
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...