MANDIRI BEKAL HIDUP DI MASA DEPAN

Ketika aku memiliki anak di usia senja, 37 tahun,  rasanya anugerah Tuhan sangat besar bagiku. Faktor resiko, faktor kesempatan, dan keselamatan bagi diriku maupun anak membuat diriku gentar pada kehamilan yang pertama kali di usia senja.   Memang secara phisik tak mengalami kendala, tetapi  ternyata ada myoma yang membesar menghalangi  pertumbuhan janin.  Setiap kali check-up kehamilan, dokter sudah memberikan sinyal dengan mengatakan bahwa kelahiran anakku akan dilakukan dengan operasi caesar.  Tentu mendengar vonis ini, saya sangat sedih,kecewa dan sedikit putus asa.  Kenapa tak bisa normal? Adakah kemungkinan untuk normal?

Suatu keajaiban yang sangat mencengangkan dan mendebarkan, ternyata memasuki usia kehamilan 9 bulan, dinyatakan myoma itu sama sekali tak mengganggu jalan kelahiran.  Aku berbesar hati, karena support berupa doa dari  ibu, suami dan saudara sangat  mendukung dan melegakan hati.
Kelahiran seorang putri pertama, suatu kebahagiaan di tengah keluarga kecil saya.   Helsa, adalah buah hati yang kami sayangi.   Sebagai anak tunggal, tentu cinta kasih kami tertumpah kepadanya , satu-satunya anak yang kami sayangi dan cintai.

Namun, cinta bukan berarti memberikan segala apa yang dimintanya.  Cinta bukan berati kami harus tunduk kepada apa yang ingin dimilikinya.  Tujuan pertama pengasuhan kami adalah mendidik anak  untuk mandiri sepenuhnya. Baik itu secara emosional, phisik, dan spiritual.   Tak mudah memperjuangkannya karena kami harus merasakan beratnya selalu ingin  memberikan terbaik bagi kami, tetapi tidak baik bagi anak (memanjakan).  Berulang kali , kami harus saling mengingat (suami-istri) tentang tujuan dari pengasuhan kami.

Mandiri secara phisik:
Sejak TK, saya telah mengajarkan kepada pengasuhnya untuk  tetap mengajarnya membersihkan tempat tidur sendiri, makan sendiri.  Ketika SD,  kami minta agar pengasuh yang kebetulan adalah seorang guru yang disiplin, mengajar  belajar  sendiri dulu, jika tidak memahami atau tidak mengerti baru bertanya,  juga makan dan tidur tetap pada waktunya.  Membersihkan dan mengatur kamarnya sendiri.  Pada saat belajar tidak dapat menonton TV kecuali pada hari libur saja.

Mandiri secara emosional:
Sejak SD kami mengajarkan agar jika ada masalah di sekolah baik itu pelajaran, atau teman , guru.  Dia harus mengemukakan secara terbuka dan tenang kepada kami.  Setelah itu kami ajak dia berdiskusi dan mencari solusi nya bersama.  Selalu kami ingin melibatkannya.  Memang pada saat masih SD, dia belum bisa memberikan solusi,  kami berikan beberapa pendapat dan akhirnya, dia sendiri yang memilih mana yang menurutnya baik. Lalu, dia sendiri yang mengambil keputusan.

Mandiri secara spiritual:
Sejak SD, kami selalu memberikan pengarahan setiap usaha harus dibarengi dengan doa.  Kekuataanya sebagai manusia terbatas, tetapi jika ada kekuataan bersama Tuhan, maka segala usaha dan doa itu akan menjadi usaha yang tak terbatas.

Buah dari kemandirian:
Helsa sekarang sekolah di sebuah perguruan tinggi di Aussie. Jauh dari orangtua, jauh dari semua orang yang disayanginya.  Perjuangan berat harus dilaluinya ketika dia menginjakkan pertama kali di benua ini. Baik itu adaptasi sosial, dirinya sendiri, sekolahnya.  Jatuh bangun, dia harus membangun dirinya untuk mandiri .  Ajaran kemandirian yang tercanang sejak kecil telah membuahkan hasil. Dia tak pernah mengeluh, merasa tak mampu, merasa kehilangan.  Dia tahu kemandirian harus dijaga dan dilakoni demi sebuah cita-cita yang ingin diraihnya.

Selamat berjuang anakku!

Tulisan ini diikut sertakan dalam Nakita Blog Competition:

Share
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...