“Potret Suram Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan di Indonesia”

Untuk memperoleh akses ke fasilitas kesehatan, Pemerintah telah memberikan dan mengeluarkan Jamkesmas bagi mereka yang tak mampu/miskin. Dari total penduduk Indonesia yang berjumlah.250 juta jiwa, yang telah termasuk sebagai peserta Jamkesmas sekitar 86,4 juta jiwa. Sedangkan jumlah penduduk miskin/tak mampu tiap tahun akan bertambah, tahun ini sekitar 10 juta dibandingkan tahun lalu.  Ironisnya, Kementrian Kesehatan masih berutang 1, 8 T yang belum dibayar kepada Rumah Sakit yang melayani pasien dengan Jamkesmas.  Sementara, bagi mereka yang tak terjangkau dengan jamkesmas, tentunya berusaha mencari solusi untuk dapat mengakses fasilitas kesehatan. Berikut adalah pengalaman saya dan pembantu saya dalam mencoba akses kesehatan.

Pengalaman saya:
Sebagai seorang pensiunan, tentunya kita ingin terus mendapatkan fasilitas kesehatan di Indonesia dengan baik seperti ketika saya bekerja. Dulu waktu saya bekerja di suatu perusahaan asing, tiap bulan gaji saya telah dipotong untuk bayar premi asuransi per tahun. Saya dibeirkan  kartu Asuransi itu, saya mudah sekali mengakses pelayanan kesehatan di rumah sakit yang ditunjuk oleh provider perusahaan asuransi yang bersangkutan. Jika tak mau repot, saya bisa datang ke dokter dulu (tidak selalu harus ke rumah sakit), dan nantinya akan direimburse atau diganti uang untuk pembayaran dokter dan obat.

 Nach sekarang ,ketika sudah pensiun, saya tak punya asuransi lagi. Segalanya telah terlambat. Saya mencari berbagai informasi mengenai asuransi kesehtan yang berlaku untuk orangtua , ternyata pembayaran preminya sudah terlampau mahal dan pembatasan dari penyakit makin banyak. Jadi saya bertanya apa alasan biaya premi berbeda antara yang muda dan yang tua? Jawabannya karena faktor resiko untuk orangtua lebih tinggi dari yang  mudaPadahal, saat ini hampir semua penyakit tak melihat menyerang muda atau tua. Ada beberapa orang yang masih muda mendapatkan penyakit kronis seperti stroke, jantung, kanker. Memang ditilik dari daya tahan tubuh, orangtua lebih rentan terserang penyakit.

Pertimbangann saya  beratnya bukan soal premi saja, tetapi pembatasan hanya dicover (diganti dan diberikan fasilitas untuk akses ke rumah sakit) pada umur 60 tahun saja. Padahal premi itu cukup mahal, lalu apa gunanya jika setelah dibayar 3 tahun, mendekati umur 60 tahun, tak lagi berguna setelah itu. Selain itu, dijelaskan sering terjebak dengan berbagai macam alasan bahwa tidak berlaku bagi mereka yang menderita sesuatu penyakit pada saat premi akan ditutup, kecuali penyakit datang setelah dua-tiga tahun. Memang ini masalah ini lebih ke industri asuransi. Tetapi saya ingin memberikan penekanan bahwa untuk mereka yang ingin memiliki akses kesehatan melalui asuransi pun tak selamanya mudah dan nyaman. Belum lagi jika ada penolakan karena ternyata banyak proses yang harus dilalui oleh pasien dalam kondisi sakit, masih harus datang ke bagian registerasi . Dicheck apakah asuransi masih valid dan dimintakan persetujuan dulu kepada pihak asuransi. Setelah disetujui, baru pasien boleh masuk ke ruangan. Pada saat ke luar dari rumah sakit pun, dicheck kembali apakah hasil observasi dari penyakit tertentu termasuk dalam penggantian asuransi atau tidak. Jika tidak, kita diminta bayar dulu.

Saya pernah membawa ibu saya yang sudah tua, berumur 90 tahun ke sebuah rumah sakit umum di suatu kota kecil. Saya tak mampu membawa ke rumah sakit yang lebih besar karena kondisi ibu sudah lemah, dan untuk mondar mandir dari kota kecil (Muntilan ) ke Jogja itu cukup sulit, karena saya tak tinggal di Jogja maupun Muntilan. Saya tak punya kendaraan pribadi untuk mondar-mandir Jogja-Muntilan. Akhirnya, setelah saya  mendaftarkan ibu, saya memilih ruangan VIP supaya perawat saya yang menjaga ibu pun tak terganggu karena perawat juga perlu istirahat. Setelah  dokter bedah selesai memeriksa kaki dan pen ibu yang menonjol keluar dan akan dipotong dan dioperasi. Semua persiapan hampir selesai, tetapi ternyata harus konsultasi dengan dokter jantung, dokter penyakit dalam. Masing-masing dokter itu memberikan obat dan vitamin . Saya sebenarnya sangat tak setuju karena ibu saya itu tak memerlukan obat yang berlebihan. Dalam perjalanan hidupnya, dia tak banyak mengkonsumsi obat. Pemberian obat yang begitu banyak oleh setiap dokter mengakibatkan , badannya menjadi alergi . Semua badan merah dan gatal, serta meradang. Terpaksa operasi ditunda. Ibu saya sangat menderita karena sebenarnya operasi itu seharusnya cepat dilakukan , tetesan nanah dari pen yang menonjol keluar dari kakinya itu akan menyebabkan infeksi, dan akan berakibat parah jika tak cepat operasi.

Pengalaman saya masuk rumah sakit karena diduga /diagnosa sebagai paratyphus. Saya diminta segera masuk rumah sakit besar milik BUMN. Pada saat saya masuk di rumah sakit, saya diberikan 3 macam obat, saya sempat melihatnya. 2 diantaranya adalah antibiotik yang berukuran 500 ml. Sebenarnnya saya tak setuju dengan pemberian obat itu. Tapi apa mau dikata, saya masih tunduk kepada dokter apa yang diberikan. Setelah seminggu saya dirawat, saya diperbolehkan pulang. Di rumah, saya tiba-tiba menggigil kedinginan, rasa mual dan tak bisa berdiri sama sekali. Lalu, saya masuk sebuah rumah sakit lain dimana sebelumnya saya menemui seorang ahli pencernaan. Ketika melakukan observasi, saya harus dicheck ulang semuanya. Ternyata tak ditemukan penyakit apa pun. Di rumah sakit ini saya tak diberikan obat sama sekali. Saya bertanya kepada dokter bersangkutan, apa sebenarnya penyakit saya. Jawaban singkat: “Sudah tenang, kamu sudah sembuh”. Akibat dari pemberian obat yang sangat keras ini, saya sudah hampir 10 tahun, menderita pencernaan yang sangat sensitif. Tak bisa makan pedas, kecut, dan berminyak dan sering diare, ketergantungan obat diare dan antibiotik pencernaan.

 Sebenarnya sebagai seorang pasien, tentunya saya perlu dan ingin mendapat informasi  dari dokter . Proses apa yang diperlukan dan akan dijalankan sebelum melakukan tindakan. Menyadari bahwa dokter adalah juga manusia. Namun, segalanya harus terbuka dan segalanya harus ditaati sesuai dengan proses dan prosedur yang dibuat. Jika masing-masing, baik pasien dan dokter saling menghormati, saling menyadari haknya, tentu segala hal yang tak diinginkan tidak terjadi.

Pengalaman pembantu saya
Jika sakit saya sering membawa pembantu untuk berobat ke Puskesmas. Dia tak mempunyai Jamkesmas karena KTP yang dimilikinya masih KTP di kampungnya. Tiap kali datang ke Puskesmas, hanya berdasarkan kartu putih atau kartu pendaftaran saja. Pembayaran untuk berobat tak begitu mahal sekitar Rp.10,000. Tetapi sistem antrian itu cukup membuat pusing. Tidak berdasarkan nomer, tetapi berdasarkan nama. Jadi tak mengetahui apakah yang dipanggil itu berdasarkan kedatangan atau ada sesuatu yang di sebut kongkalikong dengan perawat yang memanggil. Selesai dipanggil, ternyata obat yang diberikan adalah obat standar yang ada di puskesmas. Jika tak sesuai dengan penyakitnya maka kesembuhan pasien tidak akan terjadi.

Suatu saat  ketika pembantu harus membawa suami ke rumah sakit karena demam berdarah. Suami pembantu, seorang satpam. Mereka  berdua tak mempunyai kartu Jamkesmas. Jadi langsung diminta menyetorkan sejumlah uang sebagai jaminan. Berhubung tak memilki banyak uang, dia setor hanya sedikit. Akibatnya sang suami tak bisa menempati tempat tidur di ruangan, harus cukup di koridor dengan banyak orang yang lalu lalang, angin kencang dari semua arah , serasa tidak berada di rumah sakit.  Demi kesembuhan jiwa (karena takut bayar mahal), maka suaminya minta segera pulang.

Uang sebagai jaminan penting bagi Rumah Sakit untuk memastikan pasien akan membayar.  Tetapi bukankah keselamatan pasien jauh lebih penting bagi Rumah Sakit yang Melayani dengan hati.
Tidak ada perbedaan gender, kelas, kaya dan miskin untuk bisa akses ke rumah sakit pada saat darurat .

Share
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...